Mendung masih terlukis di langit sore. Awan-awan gelap yang menggelantung itu mengingatkan Keisa pada sore kemarin. Keisa yang sedang duduk termenung di balkon rumahnya, hanya bisa menahan kesedihan yang menusuk-nusuk dadanya. Sesekali dia meneteskan air mata kemudian menghapusnya lagi. Sore dan mendung ini membawa Keisa pada sore dimana ia dibuat terhempas pada sebuah kesakitan. Sore dimana ia bisa menyaksikan dengan jelas betapa Ringgo, lelaki yang ia sayangi menyabangkan cintanya pada sahabat Keisa, Neni.
“Sakit..” lirihnya sambil tangannya disilangkan memegang kedua lengannya dan meremas lengan bajunya. Kembali muncul air di sudut matanya.
Tak lama mendung itu berubah menjadi rintik hujan. Keisa keluar rumah dan berlari sepanjang jalanan komplek rumahnya. Tangisnya semakin menjadi. Air matanya tersamarkan oleh air hujan yang membasahinya. Dia terus berlari dalam guyuran hujan sambil matanya tak henti untuk menangis. Keisa ingin hujan ini bisa menghapus semua kenangannya bersama Ringgo.
Keisa duduk di sebuah bangku taman. Dia melihat awan masih gelap dan hujan makin deras. Jalanan komplek mulai sepi. Tak ada satupun orang yang terlihat berjalan di komplek itu. Biasanya, banyak anak-anak yang sedang bermain sepakbola di taman ini. Mungkin karena ini adalah hujan pertama, pikir Keisa.
Tiba-tiba Keisa terkejut melihat air hujan tak menetes ke tubuhnya lagi. Dia terheran. Padahal rintik hujan masih berjatuhan di jalanan itu, pikirnya. Ketika dia melihat ke atas ternyata ada sebuah payung yang sedang melindunginya dari guyuran hujan. Payung siapakah, pikirnya lagi. Lalu Keisa menoleh ke belakang, dan terlihat seorang cowok yang memegang payung itu.
Keisa duduk di sebuah bangku taman. Dia melihat awan masih gelap dan hujan makin deras. Jalanan komplek mulai sepi. Tak ada satupun orang yang terlihat berjalan di komplek itu. Biasanya, banyak anak-anak yang sedang bermain sepakbola di taman ini. Mungkin karena ini adalah hujan pertama, pikir Keisa.
Tiba-tiba Keisa terkejut melihat air hujan tak menetes ke tubuhnya lagi. Dia terheran. Padahal rintik hujan masih berjatuhan di jalanan itu, pikirnya. Ketika dia melihat ke atas ternyata ada sebuah payung yang sedang melindunginya dari guyuran hujan. Payung siapakah, pikirnya lagi. Lalu Keisa menoleh ke belakang, dan terlihat seorang cowok yang memegang payung itu.
“Kamu bisa sakit kalau tak memakai payung.” ucap lirih cowok itu. Suaranya hampir tak terdengar karena begitu deras hujan saat itu. Keisa hanya diam dan memandang cowok itu.
“Ini.. pakailah!” dia menyerahkan satu payung lagi pada Keisa. Dengan ragu Keisa mengambil payung tersebut.
“Pulanglah… hujan akan semakin deras!” ucapnya sambil melihat langit. Setelah itu, dia pergi meninggalkan Keisa sendiri.
“Ini.. pakailah!” dia menyerahkan satu payung lagi pada Keisa. Dengan ragu Keisa mengambil payung tersebut.
“Pulanglah… hujan akan semakin deras!” ucapnya sambil melihat langit. Setelah itu, dia pergi meninggalkan Keisa sendiri.
—
Hari itu Keisa pergi berlibur bersama keluarga. Mereka mengunjungi kawasan wisata di pegunungan yang indah di kotanya. Karena Keisa memiliki villa keluarga disana. Sebenarnya Keisa tidak ingin bergabung dalam liburan kali ini, karena dia tidak memiliki semangat sama sekali untuk menikmati liburan. Entah kenapa, mungkin karena dia belum bisa move on dari ‘mantan’ pacarnya.
Pagi-pagi sekali Keisa dan keluarga berangkat ke puncak bukit. Di puncak ini kita bisa melihat matahari yang baru bangun dari tidurnya. Dengan cahayanya yang begitu indah. Keisa melihat semua orang mengabadikan peristiwa ini. Saat dimana bola raksasa yang bersinar itu mulai menampakkan dirinya di ufuk timur. Dia melihat semua orang, lalu pandangannya tertuju pada satu orang. Keisa melihat ada yang aneh dengan orang itu. Dia tidak memotret sunrisenya. Dia membidikkan kameranya ke arah Keisa. Keisa membalikkan badan untuk tak melihatnya. Saat Keisa melihatnya lagi, dia tak mengubah bidikan kameranya. Keisa coba memandang wajahnya, ternyata Keisa pernah melihatnya. Ya, dia cowok yang memberikan payung.
“Kenapa tidak memotret sunrisenya?” tanya Keisa sambil menghampiri orang itu dan dia langsung melepas kameranya untuk kembali bergantung di lehernya.
“Apa yang datang kesini harus selalu memotret sunrise?” jawabnya.
“Kamu cowok yang memberiku payung kan?” tanya Keisa.
“Kamu cewek yang menangis di tengah hujan kan?” tanyanya yang tak menjawab pertanyaan Keisa.
“Kenapa kamu memberiku payung?” tanya Keisa.
“Agar kau tidak semakin basah. Itu hujan pertama. Kata orang, hujan pertama itu bisa membuat orang sakit.” jawabnya. Keisa tak mengerti entah darimana dia tahu mitos aneh seperti itu.
“Kau percaya itu? Itukan kata orang tapi menurutku tidak. Aku masih sehat sekarang.” kata Keisa yang mencoba menjelaskan bahwa mitos aneh itu tidak benar.
“Karena aku sudah memberimu payung.” jawabnya sambil melemparkan senyuman pada Keisa. “Kenapa kamu menangis di saat hujan seperti itu?” cowok itu kembali bertanya pada Keisa. Keisa sejenak terdiam. Mungkin dia mencerna satu per satu kata yang keluar dari mulut cowok itu sebelum dia menjawabnya.
“Aku berharap hujan bisa menghapus semua luka dan kenangan masa laluku.” jawab Keisa. Cowok itu terdiam mendengar jawaban Keisa.
“Apa yang datang kesini harus selalu memotret sunrise?” jawabnya.
“Kamu cowok yang memberiku payung kan?” tanya Keisa.
“Kamu cewek yang menangis di tengah hujan kan?” tanyanya yang tak menjawab pertanyaan Keisa.
“Kenapa kamu memberiku payung?” tanya Keisa.
“Agar kau tidak semakin basah. Itu hujan pertama. Kata orang, hujan pertama itu bisa membuat orang sakit.” jawabnya. Keisa tak mengerti entah darimana dia tahu mitos aneh seperti itu.
“Kau percaya itu? Itukan kata orang tapi menurutku tidak. Aku masih sehat sekarang.” kata Keisa yang mencoba menjelaskan bahwa mitos aneh itu tidak benar.
“Karena aku sudah memberimu payung.” jawabnya sambil melemparkan senyuman pada Keisa. “Kenapa kamu menangis di saat hujan seperti itu?” cowok itu kembali bertanya pada Keisa. Keisa sejenak terdiam. Mungkin dia mencerna satu per satu kata yang keluar dari mulut cowok itu sebelum dia menjawabnya.
“Aku berharap hujan bisa menghapus semua luka dan kenangan masa laluku.” jawab Keisa. Cowok itu terdiam mendengar jawaban Keisa.
Mereka saling mengenalkan diri. Ternyata cowok itu bernama Juan. Saat Juan bertanya tentang luka dan kenangan yang Keisa maksud, Keisa pun tak segan membagi cerita dengannya. Sambil sesekali terlihat ada air mata yang timbul di sudut mata Keisa lalu menetes ke pipinya. Ya, rupanya Keisa masih belum bisa sepenuhnya melupakan hal itu.
“Jangan menangis, yang pergi biarkan saja pergi. Mereka sudah menemukan kebahagiaannya. Apa kau juga tak mau menemukan kebahagiaanmu?” dengan nada lirih Juan berkata pada Keisa. “Jangan buang air matamu untuk mereka. Masih ada yang lebih pantas untuk menerima air mata itu suatu saat nanti.” lanjut Juan. Keisa tak menjawab sama sekali. Dia hanya termenung memikirkan kata-kata Juan yang menurutnya ada benarnya juga.
“Jangan menangis, yang pergi biarkan saja pergi. Mereka sudah menemukan kebahagiaannya. Apa kau juga tak mau menemukan kebahagiaanmu?” dengan nada lirih Juan berkata pada Keisa. “Jangan buang air matamu untuk mereka. Masih ada yang lebih pantas untuk menerima air mata itu suatu saat nanti.” lanjut Juan. Keisa tak menjawab sama sekali. Dia hanya termenung memikirkan kata-kata Juan yang menurutnya ada benarnya juga.
“Kau lihat sunrise itu!” kata Juan sambil telunjuknya mengarah pada matahari. “Pernahkah kau berpikir kenapa kamu sekarang ada disini?” tanya Juan. Keisa hanya menggelengkan kepala. “Mungkin Tuhan ingin menunjukkan padamu, bahwa meskipun tanpa dia kau masih bisa melihat pagi dengan sunrisenya.” jelasnya lagi. Keisa tertegun mendengar apa yang dikatakan oleh Juan. Keisa tersenyum. Dia merasa ada sesuatu hal yang datang dan membuat hatinya sejuk. Tentu bukan udara di puncak bukit ini. Keisa juga tak mengerti apa itu.
Semenjak saat itu, Keisa semakin hari semakin bisa melupakan lukanya. Bahkan menghilangkannya. Semua ini berkat kehadiran Juan, pikirnya. Juan seperti sunrise muncul di ufuk timur. Ia akan siap untuk menerangi sepanjang hari. Keisa berpikir sudah saatnya dia bangkit dari keterpurukan. Dia tidak mau terus menerus bersedih atas apa yang dilakukan ‘mantan’ pacar dan sahabatnya itu. Hati harus kembali di tata, agar kembali ada tempat untuk siapa pun yang menunggunya.
Lanjutkan dengan kisah lain yang inspiratif dalam : http://nomor1.com/leonmu112 atau http://goo.gl/v2pnmN
Leonardus AChFP
No comments:
Post a Comment